Nasib Ki Sunda dan Militansinya

share to whatsapp

Ketika Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) melansir data bahwa setiap hari ada 10 atau 100 bahasa ibu lenyap di muka bumi ini, apa yang ada di benak kita? Khawatir atau tertantang? Kalau mengutip puisi Widji Tukul, ”Hanya ada satu kata: lawan!” Melawan di sini bisa berarti timbul kesadaran dan kemauan lebih untuk mempertahankan dan mengembangkan Ki Sunda.

Sunda adalah sebuah ranah mahaluas dengan segala kearifan lokal (local genius) yang terus mengalami benturan. Tulisan ini berangkat dari banyaknya tanggapan yang seakan membuat kita peunggas harepan. Kita hanya diberi komentar-komentar yang dibarengi dengan solusi-solusi semu dan itu-itu juga.

Padahal, pergerakan orang-orang yang peduli akan Ki Sunda semakin hari semakin menggairahkan. Ada sebuah pencerahan dan optimisme bahwa orang-orang yang bergerak secara militan (tentu tanpa pamrih apa pun) telah dan tengah bergeliat.

Nasib bahasa Sunda

Hal utama yang biasa menjadi sorotan adalah penggunaan bahasa Sunda pada generasi sekarang. Zaman yang berubah dengan segala media di dalamnya mau tak mau turut menggerus budaya bertutur bahasa Sunda. Tidak elok jika generasi sekarang yang disalahkan. Ada banyak benang merah saling berkelindan, mengapa hal itu bisa terjadi.

Selain pengaruh globalisasi memang ada, faktor lain yang menghambat, di antaranya, tingkat gengsi masyarakat kita dalam menggunakan bahasa Sunda serta pola pendidikan yang kurang maksimal. Ada yang menyatakan, guru bahasa Sunda di sekolah ”asal” alias tidak sesuai dengan bidang.

Selain itu, penyediaan buku ajar/buku referensi tentang kesundaan kerap pacorok kokod dengan kisruhnya kepentingan proyek. Namun, hal ini berhubungan juga dengan pola kebijakan yang berwenang untuk tegas dan fokus memperbaiki kondisi ini secara konkret. Kalau terus sekadar menjadi wacana? Ya, keneh kehed.

Dalam kehidupan sehari-hari, faktanya penutur bahasa Sunda bagi generasi sekarang tidak parah-parah amat. Masih banyak remaja Sunda yang menggunakan bahasa ibu mereka. Namun, mungkin kalau ukurannya undak usuk basa, kondisinya bisa dikatakan jauh dari harapan. Hal ini hendaknya kita lakukan dengan konsep learning by doing.

Apakah mereka, misalnya, tetap akan menggunakan bahasa kasar ketika bicara kepada yang lebih tua? Akan lebih baik jika yang mengerti bahasa Sunda ikut ngageuing jika ada kata atau kalimat yang kurang berkenan dalam situasi tertentu. Dengan demikian, akan timbul pola belajar berbahasa yang tidak kaku.

Begitu pula dengan media lain, kita dituntut untuk bisa ngigelan paneka jaman. Ada banyak ruang untuk mengenalkan khazanah bahasa Sunda, misalnya dengan media internet. Telah banyak yang peduli dengan semangat militan untuk ngawanohkeun bahasa Sunda.

Cobalah sekali-kali kita mengunjungi situs web, blog, atau grup jejaring sosial yang berisi khazanah Sunda, dari bahasa, peperenian, hingga komentar anggotanya menggunakan bahasa Sunda. Ini menjadi bukti bahwa urang Sunda telah bersikap think local act global. Kita bisa melek dengan media yang ada tanpa terus humarurung memikirkan nasib, bak pemain badminton terus dihajar smes lawan.

Kearifan lokal

Kearifan lokal di Tatar Sunda adalah anugerah yang patut kita syukuri. Kearifan lokal dalam wujud seni, budaya, permainan, folklor (sastra), dan sebagainya tersebar hampir di setiap daerah. Kenyataannya, memang ada kondisi bahwa pegiat kearifan lokal di pinggiran seakan termarjinalkan. Hal ini terjadi karena beragam faktor, yaitu kurangnya peminat generasi selanjutnya untuk memelihara, kalah bersaing dengan budaya modern, serta minimnya unsur komersial. Pemahaman ini memang perlu didekonstruksi dengan tindakan di luar kebiasaan.

Contohnya adalah kisah alat musik Sunda, karinding, yang oleh pembuatnya dianggap akan lenyap oleh zaman. Namun, berkat sikap militan sebagian komunitas, karinding bisa ditampilkan dengan konsep lain. Maka, muncul Karinding Attack yang bersinergi dengan musik underground, seperti yang dilakukan Kimung Core dan kawan-kawan di komunitas Ujungberung Rebels.

Malah dalam ranah dunia maya (internet), baru-baru ini, saya tercengang dengan pemuda Sunda yang ngumbara di Jepang. Sosok Dhany Irfan dan kawan-kawan dalam naungan Masagi Studio telah melahirkan karya unik nan fenomenal. Karya itu berupa aplikasi waditra yang bisa digunakan di gadget terkini. Angklung, gamelan, dan kendang bisa dimainkan di telepon seluler dan gadget lain. Karya ini telah menjadi tren di luar negeri. Banyak pencinta seni di luar negeri mengunduh dan memakai aplikasi ini.

Bukan hanya dalam bidang seni, ngamumule dan ngawanohkeun Ki Sunda pun dilakukan oleh pelaku militan kesundaan lain. Kita mengenal forum sawala (diskusi) rutin yang dilakukan Pusat Studi Sunda, kegiatan wisata dan apresiasi sejarah Komunitas Aleut, kegiatan seni budaya Sunda oleh Daya Mahasiswa Sunda, kreasi dan apresiasi sastra baraya Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda, serta pelestarian kaulinan oleh Komunitas Hong.

Jika disebutkan satu per satu, mungkin tulisan ini tidak akan cukup menampung bagaimana kiprah orang-orang Sunda yang bergerak secara militan itu. Kenyataannya, walaupun bergerak di lini masing-masing (kadang tidak saling mengenal), toh pada akhirnya mereka juga dihubungkan oleh sejumlah simpul.

Untuk itulah, ke depan dibutuhkan ruang untuk menampung hasil karya mereka. Kalau sudah begini, kita patut reueus bahwa ”kematian” Ki Sunda ternyata hanyalah embusan angin lalu.

Patut digarisbawahi, media informasi yang terus berkembang hendaknya bisa menjadi media yang produktif untuk ngawanohkeun kegiatan orang-orang yang peduli dengan Ki Sunda. Salah satunya adalah kehadiran Kompas Jawa Barat yang rutin memberikan informasi mengenai khazanah kesundaan di berbagai daerah ini. Begitu pula dengan media lain, seperti internet, radio, atau televisi, kita bisa mengemasnya sehingga lebih mengena di masyarakat. Sudah waktunya kita tampil beda dan fleksibel dalam menggarap kekayaan Ki Sunda.

Zaman yang terus berubah menuntut kita berpikir lebih terbuka dan mampu menghasilkan sesuatu yang berbeda. Dengan catatan, isi dan maksud yang diemban tidak keluar jalur. Slogan hurip Ki Sunda atau hayu urang ngariksa jeung ngamumule Ki Sunda bukan sebatas lisan dan mendadak melempem ketika dituntut dalam tindakan nyata.

Urang Sunda jangan punya elmu ajug. Artinya, kepada orang lain kita bisa memberikan nasihat ini-itu, tetapi kita sendiri tidak mengaplikasikannya dalam keseharian.

** Abah Amin Aktivis Kegiatan Sunda; Penulis Lepas
Sumber: Kompas Jabar - Sabtu, 27 November 2010



Follow:
Instagram twitter